2.1 HAKIKAT MANUSIA
Dengan ringkas
diformulasikan, hakikat merupakan syarat eksistensi. Beradanya suatu keadaan
karena syarat-syarat tertentu. Secara negatif bermakna, tanpa syaratnya
seharusnya ada, maka keberadaan pun tidak ada. Dalam bahasa lebih luas, dalam
buku “Manusia, Filsafat dan Sejarah” menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan
hakikat adalah SESUATU yang mesti ada pada sesuatu yang jikalau SESUATU itu
tidak ada maka sesuatu itu pun tidak
wujud. Sesuatu (yang digarisbawahi)adalah simbol-simbol bereksistensi tapi
eksistensinya ditentukan di dalam dirinya sesuatu (huruf kapital).
Hanya dengan
mengetahui terutama mengenal siapa manusia, kita menjadi sadar tentang kedirian
kita. Bukan itu saja, mengenal diri (manusia) penting artinya dalam membebaskan
manusia dari keterasingan, paling tidak terbebas dari keterasingan diri
sendiri. Oleh sebab itu, sepanjang sejarah kemanusiaan, selalu muncul
kreativitas sadar membebaskan diri dari keterasingan. Karena hakikatnya manusia
dapat menemukan “hakikat” ketika pikiran telah keluar dari manusia.
2.2 PROSES KEJADIAN
MANUSIA DAN NILAI-NILAI PENDIDIKAN YANG TERKANDUNG DIDALAMNYA
Untuk mengungkapkan proses kejadian manusia dalam Al-Qur’an, akan
dihimpun beberapa ayat yang berbicara tentang proses kejadian manusia.
Ayat-ayat yang berbicara tentang proses kejadian manusia dapat
ditemukan dalam Q.S. Al-Mu’minun ayat 12-14; Q.S. Al-Hajj ayat 5; Q.S.
Al-Insaan ayat 2; Al-Mu’min ayat 67; Q.S. Al-Tgaariq ayat 5-7; Q.S.Al-Sajdah
ayat 8-9; Q.S.Al-Najm ayat 32, dan lain-lain.
Dari telaah
terhadap ayat-ayat tersebut, dapat ditampilkan beberapa hal sebagai titik tolak
kajian sebagai berikut: (1) Susunan redaksi dalam ayat-ayat yang menyangkut
kejadian manusia lebih banyak menggunakan kata khalaqa daripada kata ja’ala.
Hal ini sudah barang tentu mengandung makna tersendiri dalam konteks
pembicaraan penciptaan manusia; (2) Ayat-ayat yang telah dikemukakan di atas
ternyata ada yang masih global dan ada pula yang lebih terinci dalam
menerangkan kejadian manusia. Yang lebih terinci terutama terlihat pada Q.S.
Al-Mu’minum ayat 12-14, dan Al-Hajj ayat 5. Karena itu, ayat-ayat tersebut akan
dipakai sebagai titik tolak dalam kajian tentang penciptaan manusia mulai dari
yang sederhana sampai sempurna menjadi manusia.
1.
Kandungan makna
“khalaqa” dan “ja’ala” dalam konteks pembicaraan kejadian manusia.
Kata “khalaqa” dalam Al-Qur’an antara lain digunakan dalam
pengertian “ibda’ al-syai’ min ghairi
ashl wala-ihtida”, yakni penciptaan sesuatu tanpa asal/pangkal dan tanpa
contoh terlebih dahulu. Dapat juga berarti “i-jaad
al-syai’ min al-syai’”, yakni menciptakan sesuatu dari sesuatu, seperti
penciptaan manusia dari turab
(tanah), min sulalah min thin atau
dari sari pati (berasal dari ) tanah, dari nuthfah
dsb.
Kata “khalaqa” memeberikan aksentuasi tentang kehebatan dan
kesabaran atau keagungan allah dalam ciptaan-Nya. Sedangkan kata “Ja’ala”
mengandung aksentuasi terhadap manfaat yang harus atau dapat diperoleh dari
sesuatu yang dijadikan itu. Dalam ayat lain juga disebutkan ahwa kata “khalaqa”
memeberikan kesan tentang kehebatan dan keagungan allah dalam ciptaan alam
semesta.[1]
2.
Proses
penciptaan atau kejadian manusia
Istilah
thin, turab, dan al-ardl yang digunakan oleh Al-Qur’an dalam mengungkap asal usul
manusia tersebut adalah tepat sekali karena disamping istilah itu dapat dicerna
oleh taraf pemahaman manusia ketika Al-Qur’an diturunkan, jika ternyata dapat
diungkapkan secara ilmiah manusia yang taraf peradabannya telah maju. Hasil
penelitian ilmiah oleh menunjukan bahwa dalam tubuh manusia itu terdapat pula
unsur kimiawi yang ada dalam komponen-komponen yang dikandung dalam tanah,
yaitu berbagai komponen atom yang berbentuk molekul yang terdapat dalam tanah
dan jasad manusia.
Bila dilihat
dari proses kejadian manusia secara khusus, maka nuthfah merupakan titik awal yang terus berproses menjadi manusia
sempurna (kejadiannya) secara fisik/materi. Sedangkan thin, turab dan al-ardl
masih bersifat umum, dalam arti tidak semuanya akan menjadi nuthfah, tetapi sebagian lainnya ada
yang menjadi darah, daging, rambut dan sebagainnya. Dan nuthfah itu sendiri di dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa ia
merupakan “ma’in mahin” atau air yang
hina ( Q.S. Al-Sajdah:8 ), “ma-in da-fiq”
atau air yang terpancar ketika berkumpul/bersenggama. (Q.S. Al-Thariq: 5-7).
M. Quraish
Shihab (1987) sewaktu menyetir Q.S Al-Mu’in ayat 12-14, beliu menyimpulkan
bahwa proses kejadian manusia secara
fisik / materi ada lima tahap, yaitu (1) nuthfah; (2) ‘alaqah; (3)
mudlghah atau pembentuk organ-organ
penting, yang dalam Q.S. Al-Hajj ayat 5 ditegaskan adanya mudlghah mukhallaqh (mudlghah atau pembentuk secara sempurna) dan mudlghah ghairu mukhallaqah (mudlghah yang cacat atau tidak terbentuk secara
sempurna); (4) ‘idham (tulang); dan lahm (daging).
\Tahap ‘alaq / ‘alaqah
tersebut merupakan tahap atau periode penting dalam proses kejadian manusia.
Sementara embriologi menyatakan bahwa apabila hasil pembuahan tersebut tidak berdempet
atau tidak tergantung di dinding rahim maka keguguran akan terjadi. Tahap berikutnya adalah tahap mudlghah, ibnu Katsir
memberikan pengertian mudlghah seagai
“qith’ah ka al-bidl’ah min al-lahm la
syakl fiha wala takhthith”, yakni sepotong daging yang tidak berbentuk dan
tidak berukuran. Al-Raghib al-Asfahani mengartikannya
dengan sepotong daging seukuran sesuatu yang dikunyah dan belum masak.
Pada proses
selanjutnya, mudlghah tersebut dijadikan
sebagai tulang (‘idham). Menurut Al-Maraghi
bahwa didalam mudlghah terkandung
beberapa unsur,di antaranya terdapat elemen-elemen atau bahan-bahan yang
membentuk tulang, ia juga mengandung elemen-elemen yang membentuk daging (lahm), dan bahan-bahan makanan yang
dicerna manusia juga mengandung kedua unsur tersebut dan merupakan simol
terbentuknya darah.
Setelah itu,
Allah menjadikannya makhluk yang berbentuk lain, yakni bukan sekedar
fisik/materi/jasadi, tapi juga nonfisik/immateri.
Sebagaimana firmannNya dalam surat Al-Mukminun ayat 14 :”...tsumma ansya’naahu
khalqan akhar”. Menurut Al-Raghib al-Asfahani, bahwa kata “al-insya”’
mengandung makna “i-jad al-sya’i wa tarbiyatuh” (mewujudkan/ mengadakan sesuatu
dan memeliharanya. Menurut Sayyid qutub, pada tahap tersebut manusia memiliki
ciri-ciri yang istimewa.[2]
3.
Nilai
Dari beberapa
uraian tentang proses kejadian manusia tersebut, maka dapat ditemukan
nilai-nilai pendidikan yang perlu dikembangkan dalam proses pendidikan islam,
yaitu berikut ini.
Pertama, salah satu cara yang ditempuh oleh Al-Quran dalam mengantarkan
manusia untuk menghayati petunjuk-pentujuk Allah ialah dengan cara
memperkenalkan jati diri manusia itu sendiri, bagaimana asal kejadiannya, dari
mana datangnya dan bagaimana hidup. Ini sangat perlu untuk diingatkan kepada
manusia melalui proses pendidikan.
Kedua,
pendidikan dalam islam antara lain diarahkan kepada peningkatan
iman, pengembangan wawasan atau pemahaman serta penghayatan secara mendalam
terhadap Sang Maha Pencipta.
Ketiga,pendidikan dalam islam, antara lain diarahkan kepada pengembangan
jasmani dan rohani manusia secara harmonis, serta pengembangan fitrah manusia
secara terpadu.
Keempat, pendidikan dalam islam, antara lain diarahkan kepada pengemangan
semangat ilmiah untuk mencari dan menemukan kebenaran ayat-ayat-Nya.[3]
2.3 POTENSI-POTENSI
DASAR MANUSIA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PENDIDIKAN
Dari kajian
tentang proses kejadian manusia tersebut dapat ditarik pengertian bahwa manusia
itu sendiri atas dua substansi, yaitu (1) subtansi jasad/materi, yang bahan
dasarnya adalah dari materi yang merupakan bagian dari alam semesta ciptaan
Allah Swt dan dalam pertumbuhan dan perkembangannya tunduk dan mengikuti
sunnatullah (aturan, ketentuan, hukum Allah yang berlaku di alam semesta); (2)
substansi immateri/nonjasadi, yaitu penghembusan/peniupan ruh (ciptaan-Nya) ke
dalam diri manusia, sehingga manusia merupakan benda organik yang mempunyai
hakikat kemanusiaan serta mempunyai berbagai alat potensial dan fitrah.
1. Alat – alat potensial manusia
Masing-masing alat itu saling berkaitan dan
melengkapi dalam mencapai ilmu. Alat-alat tersebut adalah sebagai berikut :
a. Al-Lams dan al-Syum ( alat peraba dan alat
penciuman/ pembau ),
b. Al-sam’u ( alat pendengaran ).
c. Al-Abshar ( Penglihatan )
d. Al -‘aql ( akal atau daya berfikir ).
e. Al-qalb ( kalbu ).
Hal ini termasuk alat ma’rifah yang
digunakan manusia untuk dapat mencapai ilmu.
Disamping itu, Syaikh Ahmad Musthafa Al-Maragi, dalam tafsirnya
menjelaskan bahwa manusia itu telah diberi hidayah oleh Allah secara
bertingkat-tingkat. Adapun macam-macam hidayah yang di anugerahkan oleh Allah
kepada manusia ialah:
1. Hidayah Al-ilhami ( instinct ), yakni
denyut hati (gerak hati, impuls) hati yang terdapat dalam bakat manusia maupun
binatang.
2. Hidayah Al-Hawasi ( Indera ), yaitu alat
badani yang peka terhadap ransangan dari luar.
3. Hidayah Al-‘aql budi ( hidayah akal budi )
4. Hidayah Al-adayani atau hidayah agama
5. Hidayah Al-taufiqi atau hidayah Al-Ma’unah.[4]
Dalam diri manusia itu terdapat 3 macam jiwa, yaitu sebagai berikut.
(1). Jiwa tumbuh-tumbuhan ( Al-nafs al-nabatiyah ), yang mempunyai tiga daya,
yaitu daya makan, daya tumbuh, dan daya membiak. (2) jiwa binatang ( al-nafs
al-hayawaniyah ), yang memiliki dua daya, yaitu daya penggerak (al-muharrikah),
dan daya mencerap (al-mudrikah).
2. Potensi-potensi dasar atau fitrah manusia
Bila ditinjau dari aspek tersebut
maka fitrah manusia cukup banyak macamnya: a). fitrah beragama yaitu potensi
bawaan yang mendorong manusia untuk selalu pasrah, tunduk dan patuh kepada
Tuhan. b) fitrah berakal budi yaitu potensi bawaan yang mendorong manusia untuk
berpikir dan berzikir. c) fitrah komitmen terhadap kebersihan dan kesucian diri
dan lingkungannya. d) fitrah bermoral/berakhlak yaitu fitrah ini mendorong
manusia untuk selalu mencari dan mencapai kebenaran. e) fitrah kemerdekaan
yaitu mendorong manusia untuk bersikap bebas/merdeka, tidak terbelenggu dan
tidak mau diperbudak oleh sesuatu yang lain kecuali oleh keinginannya sendiri
dan kecintaannya kepada kebaikan. f) fitrah keadilan yaitu medorong manusia
untuk berusaha menegakkan keadilan dimuka bumi. g) fitrah persamaan dan
persatuan yaitu mendorong manusia untuk mewujudkan persamaan hak serta
menentang diskriminasi ras, etnik, bahasa, dan sebagainya, dan berusaha
menjalin kesatuan da persatuan dimuka bumi. h) fitrah individu yaitu mendorong
manusia untuk bersikap mandiri, bertanggung jawab atas segala tindakan yang
dilakukan, mempertahankan harga diri dan kehormatannya, serta menjaga
keselamatan diri dan hartanya. i) fitrah sosial mendorong manusia untuk hidup
bersama, bekarja sama, bergotong royong, saling membantu dan sebagainya. j)
citra seksual yaitu mendorong seseorang untuk mengembangkan keturunan
(berkembang baik) , melanjutkan keturunan, dan mewariskan tugas-tugas kepada
generasi penerusnya. k) Fitrah ekonomi yaitu mendorong manusia untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya melalui aktifitas ekonomi. l). Fitrah politik yaitu
mendorong manusia untuk berusaha menyusun suatu kekuasaan dan institusi yang mampu
melindungi kepentingan bersama. m) fitrah seni yaitu mendorong manusia untuk
menghargai dan mengembangkan kebutuhan seni dalam kehidupannya.
3. Implikasi
Potensi Dasar Manusia terhadap Pendidikan
Alat-alat potensial dan berbagai potensi
dasar atau fitrah manusia harus ditumbuh kembangkan secara optimal da terpadu
melalui proses pendidikan sepanjang hayatnya. Dalam pertumbuhan dan
perkembanganya tidak bisa dilepaskan dari adanya batas-batas tertentu, yaitu
adanya hukum-hukum yang pasti dan tetap menguasai alam. Disamping itu,
pertumbuhan dan perkembangan alat-alat potensial dan fitrah manusia itu juga
dipengaruhi oleh faktor-faktor hereditas, lingkungan alam dan geografis,
lingkungan sosiokultural, sejarah dan factor-faktor temporal. Dalam ilmu
pendidikan, faktor-faktor yang menentukan keberhasilan pelaksanaan pendidikan
itu ada lima macam yaitu: faktor tujuan, pendidik, peserta didik, alat
pendidikan, dan lingkungan.[5]
2.4 TUGAS HIDUP MANUSIA DAN FUNGSI PENDIDIKAN
Manusia, dalam perjalanan hidup dan kehidupannya, pada dasarnya
mengemban amanah atau tugas-tugas kewajiban dan tanggung jawab yang dibebankan
Allah kepada manusia agar dipenuhi, dijaga dan dipelihara dengan sebaik-baiknya.
Al-Maraghi, ketika menafsirkan ayat “ Innallaha ya’murukum an tu’adda
al-amanaati ila ahliha…(QS Annisa’:58), beliau mengemukakan bahwa amanah
tersebut ada beberapa macam bentuknya yaitu : (1) amanah hamba terhadap
Tuhannya, (2) amanah hamba terhadap sesana manusia (3) amanah manusia terhadap
dirinya.
Amanah itu sendiri sekurang-kurangnya ada dua macam, yaitu yang pertama
kesanggupan manusia mengembangkan sifat-sifat Tuhan pada dirinya, dan yang
kedua berkenaan dengan cara pengurusan sumber-sumber yang ada di bumi.[6]
Tugas-tugas
kekhalifahan tersebut dikembangkan dalam bentuk: tugas kekhalifahan terhadap
diri sendiri; tugas kekhalifahan dalam keluarga/rumah tangga;mtugars
kekhalifahan dalam masyarakat; dan tugas kekhalifahan terhadap alam.
Tugas
kekhalifahan terhadap diri sendiri menyangkut tugas-tugas: (1) menuntut ilmu pengetahuan (Q.S. Al-Nahl : 43)
karena manusia itu adalah makhluk yang dapat dan harus dididik/dikejar (Q.S.
Al-Baqarah : 31) dan yang mamapu mendidik/mengajar (Q.S. Ali-Imran : 187, Al-An’am:
51). (2) menjaga dan memelihara diri
dari segala sesuatu yang bisa menimbulkan ahaya dan kesengsaraan (Q.S
Al-Tahrim: 6) termasuk didalamnya adalah menjaga dan memelihara kesehatan
fisiknya, memakan makanan yang halal dan sebagainya.
Tugas
kekhalifahan dalam keluarga/rumah tangga menyangkut tugas membentuk rumah
tangga bahagia dan sejahtera atau keluarga sakinah dan mawwaddah wa
rahmah/cinta kasih (Q.S. Al-Rum: 21) dengan jalan menyadari akan hak dan
kewajibannya sebagainya suami-istri atau ayah-ibu dalam rumah tangga.
Tugas
kekhalifahan dalam masyarakat menyangkut tugas-tugas: mewujudkan persatuan dan
kesatuan umat. tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan. menegakkan
keadilan dalam masyarakat. bertanggung jawab terhadap amar ma’ruf nahi munkar.
dan berlaku baik terhadap golongan masyarakat lemah, termasuk didalamnya adalah
para fakir dan miskin serta yatim, orang yang cacat tubuh, orang yang berbeda
dibawah penguasaan orang lain dan lain-lain.
Sedangkan tugas
kekhalifahan terhadap alam (natur) menyangkut tugas-tugas: (1) mengkulturkan
natur (membudayakan alam). (2) menaturkan kultur (mengalamkan budaya). (3)
mengislamkan kultur (mengislamkan budaya).
2.5 SEGI-SEGI
NEGATIF MANUSIA DAN TUGAS PENDIDIKAN
Didalam
Al-Qur’an telah dijelaskan bahwa manusia disamping banyak dipuji, juga banyak dicela/dicerca.
Di antara cercaan dan sekaligus mencerminkan kekurangan dan kelemahan manusia
itu adalah: a) manusia adalah amat
dhalim dan amat bodoh. b) manusia adalah
makhluk yang lemah, tidak mempunyai daya dan kekuatan sendiri. c) manusia
adalah makhluk yang banyak memantah dan menentang ajaran Allah yang telah
menciptakannya dan yang telah memberi berbagai macam nikmat. d) manusia itu bersifat tergesah-gesah. e) manusia adalah mudah lupa dan banyak
salah. f) manusia itu sering mengingkari
nikmat dan mengingkari keenaran ajaran Allah.
g) manusia itu mudah gelisah dan banyak keluh kesah serta sangat kikir.[7]
[1] Drs. Muhaimin, M.A. et.al. Paradigma Pendidikan Islam.
Bandung: Remaja Rosdakarya.2002. hal. 3-5.
[2] Ibid. hal: 5-11.
[3] Ibid. hal.12
[4] Drs. Muhaimin, M.A. et.al. Paradigma Pendidikan Islam.
Bandung: Remaja Rosdakarya.2002. hal. 14.
[5] Drs. Muhaimin, M.A. et.al. Paradigma Pendidikan Islam.
Bandung: Remaja Rosdakarya.2002. hal. 19.
[7] Drs. Muhaimin, M.A. et.al. Paradigma Pendidikan Islam.
Bandung: Remaja Rosdakarya.2002. hal. 25.
0 komentar:
Posting Komentar